Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan supaya kita hanya mengonsumsi makanan/minuman yang halal dan thoyyib. Hal ini kemudian ditafsirkan dalam bahasa medisnya sebagai makanan yang halal, higienis, dan sehat. Namun apakah konsep halal dan thoyyib ini hanya berlaku untuk setiap apa yang kita konsumsi? Ternyata tidak juga. Konsep ini nyatanya bisa kita aplikasikan dalam setiap aspek kehidupan kita. Dari urusan makanan, pergaulan hingga kehidupan berorganisasi dan penyelenggaraan negara membutuhkan konsep ini. Membuktikan pada kita bahwa tiap rumusan dan konsep yang ada di dalam Al-Qur’an betul-betul mendalam dan meluas cakupannya sehingga bisa menjadi solusi atas setiap problem yang kita, secara individu dan bangsa, hadapi.
Halal berarti sah atau legal secara hukum. Orang yang bekerja mencari uang, bisa kita katakan halal uangnya jika pekerjaannya memang sah secara hukum syar’i. Artinya, tidak melanggar hukum syar’i ditinjau dari apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Adapun thoyyib berarti baik. Baik pengelolaannya dan baik pula pengawasannya. Bahasa kerennya: Integritas, yang mencakup padanya kejujuran, kebenaran, dan profesionalisme. Jadi, jika saya seorang pekerja yang bekerja secara halal dan thoyyib, artinya pekerjaan saya sah secara hukum, saya kerjakan pekerjaan itu dengan baik, dan pekerjaan itu pun baik buat saya. Boleh juga kita gunakan istilah “dari-oleh-untuk”, dari sisi hukum sah, oleh saya kerjakan dengan baik, dan untuk saya pun itu baik.
Sekarang bagaimana mengaitkan konsep halalan thoyyiban ini dengan urusan penyelenggaraan negara?
Sebagaimana lazim diketahui di kalangan ahli hukum tata negara dan siapa saja yang mengikuti perkembangannya, bahwa teori-teori mengenai penyelenggaraan negara oleh pemerintah telah berkembang dari sekadar legal gouvernance menjadi good gouvernance. Jadi, di abad 21 ini, pemerintah yang sah secara de jure dan de facto saja tidak cukup, tapi perlu penyelanggaraan yang baik dan berkeadilan juga. Pemerintahan yang berintegritas. Inilah yang saya maksud sebagai konsep Halalan Thoyyiban dalam penyelenggaraan negara oleh Pemerintah, yaitu Pemerintah yang legal-formal dan berintegritas. Bagaimana suatu pemerintah tidak hanya sah secara hukum nasional dan internasional, tapi juga dalam penyelenggaraannya bersih, baik, dan profesional.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang otoriter. Hal itu dimungkinkan sebab tingkat peradaban Bangsa kita saat itu memang mengharuskan adanya kepemimpinan seseorang yang “kuat”. Berbeda dengan di masa Orde Lama yang penuh konflik politik, keadaan di masa Orde Baru secara politik dan ekonomi terbilang stabil sebab pemerintah, dalam hal ini Presiden, dengan kecanggihan politiknya mampu memanipulasi birokrasi dan militer menjadi suatu kekuatan pendukung setia Presiden yang teramat kuat. Namun seiring berjalannya waktu, ketika rakyat sudah makin naik kelas, lama-lama rakyat pun kian menyadari bahwa Pemerintahan yang berkuasa saat itu tidak mencerminkan suatu good government. Rakyat pun menghendaki adanya perubahan kearah yang lebih demokratis lewat reformasi tahun 1998. Era otoritarian pun berakhir.
Sejak saat itu, pemerintah bersama militer dan rakyat, menyatakan hendak berbenah diri menjadi sebuah bangsa yang demokratis. Isu yang paling hits saat itu adalah tentang menyelanggarakan suatu pemerintahan yang berkeadilan, bersih dari praktik KKN, dan menjunjung tinggi HAM. Euforia reformasi demokrasi dirasakan dimana-mana hingga beberapa tahun berikutnya, sebab rakyat menaruh harapan besar kepada negara akan masa depan mereka yang lebih cerah. Namun dengan banyaknya skandal yang melibatkan para pejabat tinggi dan politisi di negeri ini, lemah dan tidak adilnya penegakan hukum, dan kesenjangan ekonomi yang makin melebar, muncul kekhawatiran akan lahirnya fenomena democratic fatigue di masyarakat yang pada saatnya nanti, cepat atau lambat, akan melahirkan kembali satu bentuk baru dari reformasi.
Tanda-tanda akan lahirnya suatu reformasi yang baru ini bisa kita baca dengan banyaknya tulisan dan gambar yang tersebar di banyak media yang digambarkan dengan istilah “lempar jumroh”. Istilah ini muncul sebagai gambaran akan aksi lanjutan dari aksi “thawaf” 411 dan aksi “wukuf” 212 yang fenomenal itu. Aksi-aksi ini muncul sebagai respon atas lambat dan tidak jelasnya sikap pemerintah terhadap penistaan Al-Qur’an dan Ulama yang dilakukan oleh Gubernur Ahok. Rakyat, khususnya Umat Islam, merasakan ada yang tidak beres dalam penegakan hukum di Negara ini. Isu ini juga diperkuat dengan dugaan bahwa PKI atau ideologi komunisme kembali bangkit sementara Pemerintah dianggap seolah tidak peduli dengan isu ini. Rakyat semakin tidak percaya dan menduga yang macam-macam.
Ini tentu berbahaya. Pemerintah, setidaknya menurut saya, sudah salah langkah dalam bidang politik, hukum dan keamanan, atau setidak-tidaknya salah dalam mengomunikasikannya dengan rakyat. Meski begitu, langkah “lempar jumroh” atau reformasi yang baru bukanlah pilihan yang tepat. Buat saya, kata “reformasi” hanyalah bentuk halus dari “revolusi” yang berdasarkan sejarah, terbukti rakyat kita tak mampu mengatasinya. Baik reformasi dan revolusi, meskipun dikemas dengan bungkus “perbaikan”, sebetulnya bersifat dekonstruktif. Merusak. Sehingga untuk merekonstruksinya butuh proses yang berbelit-belit dan waktu yang sangat lama. Kasarnya, tidak efektif.
Dari sini, kita perlu belajar sejarah dari para pelaku sejarah terbaik. Para Nabi dan Rasul. Tercatat dalam sejarah, kebanyakan para Rasul itu diutus kepada kaum-kaum yang dipimpin oleh penguasa yang zhalim. Diantaranya yang paling masyhur adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Musa yang diutus untuk mendakwahi raja-raja yang amat berkuasa sekaligus amat zhalim, pun demikian Allah SWT memerintahkan keduanya untuk bersikap lembut dan bijak. Hal yang sama dilakukan oleh panutan terutama dan pertama kita, Nabi Muhammad, yang bahkan dengan sangat sabar selama 13 tahun berdakwah dengan lembut dan bijak di bawah tekanan luar biasa oleh penguasa.
Nah, ketika kita perhatikan sejarah para Rasul itu dengan seksama, tidak ada seorang pun dari mereka yang melakukan atau bahkan sekadar membolehkan reformasi dan atau revolusi. Daripada melakukan revolusi, semuanya lebih memilih untuk berhijrah sebab sadar sepenuhnya bahwa revolusi pada hakikatnya bersifat dekonstruktif. Para Rasul itu melakukan perbaikan dan pembinaan dari bawah, dengan keimanan, kerja keras, dan kesabaran. Hal itulah yang mestinya kita upayakan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Konsep Halalan Thoyyiban itu bisa kita upayakan untuk kita terapkan mulai dari diri sendiri, keluarga kita, kemudian masyarakat di sekitar kita. Mulai dari hanya berkata dan bertindak yang sah secara hukum, dan menjadi pribadi yang berintegritas lalu mendidik siapapun yang terdekat dengan kita untuk turut pula menjadi pribadi yang Halalan Thoyyiban. Memang tidak mudah, namun bisa kita upayakan. Semoga Allah SWT bimbing kita semua.